sejarah dan kebiasaan desa gunturharjo

Senin, 23 Agustus 2010

PUISI SOSIAL

Ketika Waktu, Tak Berwaktu

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany*

Malam kuhirup angin
membius rasa makna
pada waktu kering layu

Sejuk air diatas rumah
memeras energi sunyi
pada kapal senja di samudera

Hitungan air hujan
meronai singgah kunang
diranjau sarang

Sisa air minum kuraba
tergapai disinggasana
bambu yang dingin

Cahaya meronai jembatan
dalam gubahan puisi
yang tak selesai aku baca

Siang merana dalam sungai
meluka pada singa
dalam dekap awan

Suram terasa
bagi pagi yang cerah
di pucuk bulan

Pagi mentari
yang mencurap aura-aura
di tepi lorong kosong

Malam bulan
terusap kunang
di kelopak surga

Ketika matahari
berdetak di jantung
sarang angin mengupas mata

Sarang puja pada pohon
sekilas rona singgah
sekelupas daun menguning

Embun lebih baik jadi kenang
daripada jadi matahari
dalam jiwajiwa

Luka yang menimbun airmata
derai tertulis di dada, tapi
kematian tetap mahal dalam linang, kapankapan?

Kapankapan adalah kapankapan
yang tak berwaktu
ia kosong dalam kekosongan

Gelap resah,
detak susah
semua satu bermuara pada rasa

Resah pada setiap rasa
susah terus bergerimis
diladang kemesraan

Sesekali waktu
tergerai ombak siang
singa menganga dalam lubang kecil

Keberlakuanmu mungkin
di senja yang ramai
tak terbaca reroncean satu

Senja kubuat malam
pada bulan ke lima belas
yang singgah di perbatasan waktu

Diam yang berwaktu
pada kata yang beku
adalah semu biru

Reroncean itu
pada matamu
adalah senja, katamu

Kini yang terlihat
cuma jiwa yang hancur
hingga sungai kering dalam diriku

Sungguh menderaslah
hujan janji
pada matamu yang biru

Aku bernafas
karena kau sudah teraliri air cinta
yang sudah berwaktu

Mungkinkah aku dapat bertahan
dalam waktu ini?
aku cuma diam dalam kediaman yang jauh

Dan kau bersinar dalam malam ini
tapi mungkinkah aku?
yang ada dalam jurang matahari

Aku tetap berdiri di tepi sana
menunggu malam yang kedua
agar puisi ini menjadi cahaya,

Pancaran itu, katamu
pada detak otak yang bisu
melahirkan kata-kata yang lain

Pada sebuah ketika
orang-orang ramai mengambilnya
hanya untuk kertas yang belum terisi

Pagi yang lain
belum kusapu dalam mimpi
mungkin rasa sehabis makan?

Air itu mengalir lagi
pada detak rasa yang basah
disampah kusam

Hingga mawar malumalu
tersenyum pada buah api
yang membara

Akhirnya adaku
melengkung pada haluan sungai
yang sedang dingin dan mati



PUISI SORE

Sore itu ...mendung
menutup cakrawala hitam dan pekat
menelimuti alam angin bertiup perlahan mengiringi
butiran cristal bening yang mulai berguliran

Awan semakin hitam
suasana pun kian mencekam
cristal bening yang jatuh satu satu
kini telah menjadi hujan

Dipenghujung sore yang kelam itu
di tengah lebatnya hujan
dalam suasana yang semakin sepotong asa
telah pergi terbawa mimpi yang tak pasti.



JIWA PASRAH


Malam-malam gemintang menghias gelap
Bulan biru menyembul diantara mega putih
Meniup perlahan angin hembusan alam
Hening membelenggu dalam jutaan warna

Jatuh berlutut merenung dalam senyap
Merindu damai dalam naungan ketulusan hati
Memohon tetesan embun dari daun pagi
Menghijaukan daun jiwa yang melayu buram

Sayup-sayup ada nyanyian harap dibalik awan
Kuusapkan tanganku keleher yang merinding
Berdebar menghunjam hati yang lemah ini
Kepedihan merambat menerjang lubuk jiwa

Seorang bijaksana muncul dibawah kilatan terang
Tersungging senyuman damai dibibir pesona malam
Berkedip lembut satu titik mata bintang berkilauan
Menghentakkan jiwa yang berpasrah diam

“O… Jiwa Pasrah, dengar bisikan suara manis bidadari malam!”

“O… Jiwa pasrah, pandang kearah satu titik cahaya saja!”



SUARA DIAM

Dalam gelap ada suara diam
Merinding perlahan karena takut
Orang-orang bicara tanpa suara
Ada syair lagu tak ada melodi
Ada puisi dalam diam
Menangis tanpa suara
Merasa sakit tetap diam
Hati mengeluh
Bibir terkatup diam
Telinga mendengar diam
Mata melihat namun diam
Bisikan lembut suara diam
Dinuansa beku manusia
Menjalar bagai virus ganas



JENUH


Sejenak aku pandangi
Batas cakrawala
Sang surya pun perlahan
Tinggalkan bayangan

Ada setangkup rasa
Yang akan tertinggal
Dan mungkin terus tertinggal
Jauh disana

Seakan aku terkunci
Tanpa dapat dan sempat bertanya
Biarlah sepi mengurung diri
Dalam seribu tanya yang ada

Biarlah saja serangga malam
Menjadi temanku ..
Hari-hari tetap sama
Tanpa ada yang berubah
Membuat diriku semakin



Siapa Aku


Malam bertanya siapa aku
Aku rahasianya – yang cemas, hitam, dalam
Aku kebisuannya yang penuh pemberontakan
Telah ku selubungi hakikat diriku dengan kebisuan

Dan ku salut hatiku dalam keraguan
Lalu, penuh khidmat, tinggal aku di sini, diam
Memandang, sementara abad abad bertanya padaku,
Siapa aku

Angin bertanya siapa aku
Aku ruhnya yang heran, di ingkari zaman
Aku, seperti dia, tak pernah diam
Terus mengelana tak ada hentinya

Bila sampai kami di tikungan
Kami akan mengira itu akhir penderitaan
Tapi kiranya
Waktu bertanya siapa aku

Aku, seperti dia, ialah raksasa, yang memeluk abad abad dan
Kembali menghidupkannya
Dari pesona harapan yang menawan
Aku menciptakan masa lampau yang jauh silam dan

Kembali menguburkannya
Agar dapat ku bentuk bagiku sendiri hari kemarin yang baru
Dengan hari esoknya es yang beku

Diri bertanya siapa aku
Aku, seperti dia, dalam kebingungan, menatap bayangan kelam
Tidakapapun membuatku tenteram
Aku terus bertanya – dan jawabnya

Akan tinggal berselubung bayangan yang memperdaya
Aku akan tetap mengira jawaban itu sudah datang begitu dekat
Tetapi ketika kuraih, ia telah lumat
Hilang, musnah.


PEREMPUAN


Kilatan indah pada jembatan lewat mana sejarah
Meratap tertitah, adalah sebuah jembatan dari mana
Kemungkinan yang selama ini tak mungkin, kelak akan
Menjelma

Sebutir debu yang tersisa di sudut kegelapan malam
Tetap titah, yang dalam kebisuannya mendendam keabadian
Yang tersa-sia
Lelaki!kutitipkan perempuan- perempuanmu kepadamu !

Yang kejengkelanmu kepada mereka menyimpan mimpi mimpi
Indah musim semi harapanmu yang terlena
Yang kehancuranmu karena mereka menyembunyikan rahasia
Wahyu sejati kenabianmu tentang keabadian

Dan kecemburuanmu kepada mereka menyikap wujud
Keutuhanmu yang berdandean seribu penampilan, menjemput
Langkah langkh mu menyusuri lorong panjang ketakterhinggaan
Yang teramat sangat sepi dan melumpuhkan

Lelaki!
Perempuanlah tubuhmu yang lain, ketika kesendirianmu
Yang asing ingin di sapa
Perempuanlah butir matamu yang gelisah, ketika kakimu
Terpangku ngilu hasratkan dunia

Perempuanlah merpati kesadaranmu yang resah, ketika jiwamu
Hendak terbang dengan kepak kepak kecil mengukir ruang
Perempuan, perempuanlah samudera teduh memanggil angin,
Awan, hujan dan sungaimu untuk tak henti henti mendendangkan
Puisi kehidupan.




SUNGAI MADU


Jika ada sungai madu, aku sudah terjun menyelam seperti bebek
Jika ada sungai madu, aku sudah berenang kedasarnya sekarang
Dan tak akan pernah muncul lagi kedarat

Saat matahari hangat menyinari pintu gubuk belakangku suatu hari
Otomatis pintu kamar lubuk hatiku terbuka lebar
Mungkin saja dapat menyihir hatiku mengkristal berlian

Kuciptakan lagu recehan buat show ditengah jalan kota
Aku seniman gelandangan bukan kriminal keren
Kelasku kelas tanah, penggemarku golongan akar tanah

Besok aku pergi kerumah dermawan, antri dapat sedekah
Bergetar lututku, dipundakku ada tubuh kaku perempuan tua
Terinjak kaki-kaki frustasi mereka yang kelaparan

Jika keringat asamku mengaliri sungai takdir
Belokkan arusnya kearah istana presiden
Mungkin aromanya mampu menyentuh hati istana

Redupkan lampu kamarmu, rasakan remangnya malam
Dengar rintihan suara-sura syahdu gitar tuaku dibisikan angin
Menyelimuti tubuh-tubuh kurus kelelahan dalam pangkuan gelap

Jangan hancurkan gitar tua ini, dengarkan suara melodinya
Menggairahkan anak jalanan berdendang ria walau tanpa arahan
Tumbuk saja hatiku hingga terbebas dari keluhan luka raga merana

Jika di Jakarta ada sungai keringat orang miskin
Kawan… hanyutkan bangkaiku ini ke istana wakil rakyat
Mungkin mampu membangunkan mereka yang tertidur pulas

Ah… Jika ada sungai madu, aku akan menyelam kedasarnya



Pisau

Iris dan iris tiadak pernah puas
Tangan hampa ini mengenggam pisau
Suara irisan hidup bersahutan merintih
Dingin melolong dalam goa gelap
Frustrasi singgah dalam hidup kecemasan
Urat-urat syaraf menegang hampir putus

Pisau ini memanas mencari mangsa
Mengiris-ngiris jiwa yang sudah terpuruk
Hina dina tak ada yang peduli
Baiknya kuhapus saja setiap rasa cinta
Irislah cinta ini, pisauku!
Damaikan mata hatiku yang bolong terluka

Mulut tajam menghujat asa lemah
Adalah mulut pisau!
Mulut memohon ampunan dengan jujur
Namun ada mulut terkatup rapat tidak menjawab
Adalah mulut pisau!
Irislah mulut-mulut itu, pisauku!

Siapa yang salah ?
Pisau, mulut, atau hati?
Ujung-ujungnya watak arogan mematri
Marah mengiris-ngiris jari telunjuk
Karena telunjuk itu selalu menunjuk kasar
Menusuk perasaan, mengkoyak harga diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar