Ketika Waktu, Tak Berwaktu
Sajak-sajak: Matroni el-Moezany*
Malam kuhirup angin
membius rasa makna
pada waktu kering layu
Sejuk air diatas rumah
memeras energi sunyi
pada kapal senja di samudera
Hitungan air hujan
meronai singgah kunang
diranjau sarang
Sisa air minum kuraba
tergapai disinggasana
bambu yang dingin
Cahaya meronai jembatan
dalam gubahan puisi
yang tak selesai aku baca
Siang merana dalam sungai
meluka pada singa
dalam dekap awan
Suram terasa
bagi pagi yang cerah
di pucuk bulan
Pagi mentari
yang mencurap aura-aura
di tepi lorong kosong
Malam bulan
terusap kunang
di kelopak surga
Ketika matahari
berdetak di jantung
sarang angin mengupas mata
Sarang puja pada pohon
sekilas rona singgah
sekelupas daun menguning
Embun lebih baik jadi kenang
daripada jadi matahari
dalam jiwajiwa
Luka yang menimbun airmata
derai tertulis di dada, tapi
kematian tetap mahal dalam linang, kapankapan?
Kapankapan adalah kapankapan
yang tak berwaktu
ia kosong dalam kekosongan
Gelap resah,
detak susah
semua satu bermuara pada rasa
Resah pada setiap rasa
susah terus bergerimis
diladang kemesraan
Sesekali waktu
tergerai ombak siang
singa menganga dalam lubang kecil
Keberlakuanmu mungkin
di senja yang ramai
tak terbaca reroncean satu
Senja kubuat malam
pada bulan ke lima belas
yang singgah di perbatasan waktu
Diam yang berwaktu
pada kata yang beku
adalah semu biru
Reroncean itu
pada matamu
adalah senja, katamu
Kini yang terlihat
cuma jiwa yang hancur
hingga sungai kering dalam diriku
Sungguh menderaslah
hujan janji
pada matamu yang biru
Aku bernafas
karena kau sudah teraliri air cinta
yang sudah berwaktu
Mungkinkah aku dapat bertahan
dalam waktu ini?
aku cuma diam dalam kediaman yang jauh
Dan kau bersinar dalam malam ini
tapi mungkinkah aku?
yang ada dalam jurang matahari
Aku tetap berdiri di tepi sana
menunggu malam yang kedua
agar puisi ini menjadi cahaya,
Pancaran itu, katamu
pada detak otak yang bisu
melahirkan kata-kata yang lain
Pada sebuah ketika
orang-orang ramai mengambilnya
hanya untuk kertas yang belum terisi
Pagi yang lain
belum kusapu dalam mimpi
mungkin rasa sehabis makan?
Air itu mengalir lagi
pada detak rasa yang basah
disampah kusam
Hingga mawar malumalu
tersenyum pada buah api
yang membara
Akhirnya adaku
melengkung pada haluan sungai
yang sedang dingin dan mati
PUISI SORE
Sore itu ...mendung
menutup cakrawala hitam dan pekat
menelimuti alam angin bertiup perlahan mengiringi
butiran cristal bening yang mulai berguliran
Awan semakin hitam
suasana pun kian mencekam
cristal bening yang jatuh satu satu
kini telah menjadi hujan
Dipenghujung sore yang kelam itu
di tengah lebatnya hujan
dalam suasana yang semakin sepotong asa
telah pergi terbawa mimpi yang tak pasti.
JIWA PASRAH
Malam-malam gemintang menghias gelap
Bulan biru menyembul diantara mega putih
Meniup perlahan angin hembusan alam
Hening membelenggu dalam jutaan warna
Jatuh berlutut merenung dalam senyap
Merindu damai dalam naungan ketulusan hati
Memohon tetesan embun dari daun pagi
Menghijaukan daun jiwa yang melayu buram
Sayup-sayup ada nyanyian harap dibalik awan
Kuusapkan tanganku keleher yang merinding
Berdebar menghunjam hati yang lemah ini
Kepedihan merambat menerjang lubuk jiwa
Seorang bijaksana muncul dibawah kilatan terang
Tersungging senyuman damai dibibir pesona malam
Berkedip lembut satu titik mata bintang berkilauan
Menghentakkan jiwa yang berpasrah diam
“O… Jiwa Pasrah, dengar bisikan suara manis bidadari malam!”
“O… Jiwa pasrah, pandang kearah satu titik cahaya saja!”
SUARA DIAM
Dalam gelap ada suara diam
Merinding perlahan karena takut
Orang-orang bicara tanpa suara
Ada syair lagu tak ada melodi
Ada puisi dalam diam
Menangis tanpa suara
Merasa sakit tetap diam
Hati mengeluh
Bibir terkatup diam
Telinga mendengar diam
Mata melihat namun diam
Bisikan lembut suara diam
Dinuansa beku manusia
Menjalar bagai virus ganas
JENUH
Sejenak aku pandangi
Batas cakrawala
Sang surya pun perlahan
Tinggalkan bayangan
Ada setangkup rasa
Yang akan tertinggal
Dan mungkin terus tertinggal
Jauh disana
Seakan aku terkunci
Tanpa dapat dan sempat bertanya
Biarlah sepi mengurung diri
Dalam seribu tanya yang ada
Biarlah saja serangga malam
Menjadi temanku ..
Hari-hari tetap sama
Tanpa ada yang berubah
Membuat diriku semakin
Siapa Aku
Malam bertanya siapa aku
Aku rahasianya – yang cemas, hitam, dalam
Aku kebisuannya yang penuh pemberontakan
Telah ku selubungi hakikat diriku dengan kebisuan
Dan ku salut hatiku dalam keraguan
Lalu, penuh khidmat, tinggal aku di sini, diam
Memandang, sementara abad abad bertanya padaku,
Siapa aku
Angin bertanya siapa aku
Aku ruhnya yang heran, di ingkari zaman
Aku, seperti dia, tak pernah diam
Terus mengelana tak ada hentinya
Bila sampai kami di tikungan
Kami akan mengira itu akhir penderitaan
Tapi kiranya
Waktu bertanya siapa aku
Aku, seperti dia, ialah raksasa, yang memeluk abad abad dan
Kembali menghidupkannya
Dari pesona harapan yang menawan
Aku menciptakan masa lampau yang jauh silam dan
Kembali menguburkannya
Agar dapat ku bentuk bagiku sendiri hari kemarin yang baru
Dengan hari esoknya es yang beku
Diri bertanya siapa aku
Aku, seperti dia, dalam kebingungan, menatap bayangan kelam
Tidakapapun membuatku tenteram
Aku terus bertanya – dan jawabnya
Akan tinggal berselubung bayangan yang memperdaya
Aku akan tetap mengira jawaban itu sudah datang begitu dekat
Tetapi ketika kuraih, ia telah lumat
Hilang, musnah.
PEREMPUAN
Kilatan indah pada jembatan lewat mana sejarah
Meratap tertitah, adalah sebuah jembatan dari mana
Kemungkinan yang selama ini tak mungkin, kelak akan
Menjelma
Sebutir debu yang tersisa di sudut kegelapan malam
Tetap titah, yang dalam kebisuannya mendendam keabadian
Yang tersa-sia
Lelaki!kutitipkan perempuan- perempuanmu kepadamu !
Yang kejengkelanmu kepada mereka menyimpan mimpi mimpi
Indah musim semi harapanmu yang terlena
Yang kehancuranmu karena mereka menyembunyikan rahasia
Wahyu sejati kenabianmu tentang keabadian
Dan kecemburuanmu kepada mereka menyikap wujud
Keutuhanmu yang berdandean seribu penampilan, menjemput
Langkah langkh mu menyusuri lorong panjang ketakterhinggaan
Yang teramat sangat sepi dan melumpuhkan
Lelaki!
Perempuanlah tubuhmu yang lain, ketika kesendirianmu
Yang asing ingin di sapa
Perempuanlah butir matamu yang gelisah, ketika kakimu
Terpangku ngilu hasratkan dunia
Perempuanlah merpati kesadaranmu yang resah, ketika jiwamu
Hendak terbang dengan kepak kepak kecil mengukir ruang
Perempuan, perempuanlah samudera teduh memanggil angin,
Awan, hujan dan sungaimu untuk tak henti henti mendendangkan
Puisi kehidupan.
SUNGAI MADU
Jika ada sungai madu, aku sudah terjun menyelam seperti bebek
Jika ada sungai madu, aku sudah berenang kedasarnya sekarang
Dan tak akan pernah muncul lagi kedarat
Saat matahari hangat menyinari pintu gubuk belakangku suatu hari
Otomatis pintu kamar lubuk hatiku terbuka lebar
Mungkin saja dapat menyihir hatiku mengkristal berlian
Kuciptakan lagu recehan buat show ditengah jalan kota
Aku seniman gelandangan bukan kriminal keren
Kelasku kelas tanah, penggemarku golongan akar tanah
Besok aku pergi kerumah dermawan, antri dapat sedekah
Bergetar lututku, dipundakku ada tubuh kaku perempuan tua
Terinjak kaki-kaki frustasi mereka yang kelaparan
Jika keringat asamku mengaliri sungai takdir
Belokkan arusnya kearah istana presiden
Mungkin aromanya mampu menyentuh hati istana
Redupkan lampu kamarmu, rasakan remangnya malam
Dengar rintihan suara-sura syahdu gitar tuaku dibisikan angin
Menyelimuti tubuh-tubuh kurus kelelahan dalam pangkuan gelap
Jangan hancurkan gitar tua ini, dengarkan suara melodinya
Menggairahkan anak jalanan berdendang ria walau tanpa arahan
Tumbuk saja hatiku hingga terbebas dari keluhan luka raga merana
Jika di Jakarta ada sungai keringat orang miskin
Kawan… hanyutkan bangkaiku ini ke istana wakil rakyat
Mungkin mampu membangunkan mereka yang tertidur pulas
Ah… Jika ada sungai madu, aku akan menyelam kedasarnya
Pisau
Iris dan iris tiadak pernah puas
Tangan hampa ini mengenggam pisau
Suara irisan hidup bersahutan merintih
Dingin melolong dalam goa gelap
Frustrasi singgah dalam hidup kecemasan
Urat-urat syaraf menegang hampir putus
Pisau ini memanas mencari mangsa
Mengiris-ngiris jiwa yang sudah terpuruk
Hina dina tak ada yang peduli
Baiknya kuhapus saja setiap rasa cinta
Irislah cinta ini, pisauku!
Damaikan mata hatiku yang bolong terluka
Mulut tajam menghujat asa lemah
Adalah mulut pisau!
Mulut memohon ampunan dengan jujur
Namun ada mulut terkatup rapat tidak menjawab
Adalah mulut pisau!
Irislah mulut-mulut itu, pisauku!
Siapa yang salah ?
Pisau, mulut, atau hati?
Ujung-ujungnya watak arogan mematri
Marah mengiris-ngiris jari telunjuk
Karena telunjuk itu selalu menunjuk kasar
Menusuk perasaan, mengkoyak harga diri
Senin, 23 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar