sejarah dan kebiasaan desa gunturharjo

Minggu, 17 Februari 2013

JUAL BIBIT SENGON LAUT: Sengon Laut

JUAL BIBIT SENGON LAUT: Sengon Laut: Berapakah usia anak anda, apa yang akan anda berikan ketika ia menikah 5 tahun lagi ? Apa yang sedang anda persiapkan untuk saat pernikahan...

Senin, 23 Agustus 2010

PUISI SOSIAL

Ketika Waktu, Tak Berwaktu

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany*

Malam kuhirup angin
membius rasa makna
pada waktu kering layu

Sejuk air diatas rumah
memeras energi sunyi
pada kapal senja di samudera

Hitungan air hujan
meronai singgah kunang
diranjau sarang

Sisa air minum kuraba
tergapai disinggasana
bambu yang dingin

Cahaya meronai jembatan
dalam gubahan puisi
yang tak selesai aku baca

Siang merana dalam sungai
meluka pada singa
dalam dekap awan

Suram terasa
bagi pagi yang cerah
di pucuk bulan

Pagi mentari
yang mencurap aura-aura
di tepi lorong kosong

Malam bulan
terusap kunang
di kelopak surga

Ketika matahari
berdetak di jantung
sarang angin mengupas mata

Sarang puja pada pohon
sekilas rona singgah
sekelupas daun menguning

Embun lebih baik jadi kenang
daripada jadi matahari
dalam jiwajiwa

Luka yang menimbun airmata
derai tertulis di dada, tapi
kematian tetap mahal dalam linang, kapankapan?

Kapankapan adalah kapankapan
yang tak berwaktu
ia kosong dalam kekosongan

Gelap resah,
detak susah
semua satu bermuara pada rasa

Resah pada setiap rasa
susah terus bergerimis
diladang kemesraan

Sesekali waktu
tergerai ombak siang
singa menganga dalam lubang kecil

Keberlakuanmu mungkin
di senja yang ramai
tak terbaca reroncean satu

Senja kubuat malam
pada bulan ke lima belas
yang singgah di perbatasan waktu

Diam yang berwaktu
pada kata yang beku
adalah semu biru

Reroncean itu
pada matamu
adalah senja, katamu

Kini yang terlihat
cuma jiwa yang hancur
hingga sungai kering dalam diriku

Sungguh menderaslah
hujan janji
pada matamu yang biru

Aku bernafas
karena kau sudah teraliri air cinta
yang sudah berwaktu

Mungkinkah aku dapat bertahan
dalam waktu ini?
aku cuma diam dalam kediaman yang jauh

Dan kau bersinar dalam malam ini
tapi mungkinkah aku?
yang ada dalam jurang matahari

Aku tetap berdiri di tepi sana
menunggu malam yang kedua
agar puisi ini menjadi cahaya,

Pancaran itu, katamu
pada detak otak yang bisu
melahirkan kata-kata yang lain

Pada sebuah ketika
orang-orang ramai mengambilnya
hanya untuk kertas yang belum terisi

Pagi yang lain
belum kusapu dalam mimpi
mungkin rasa sehabis makan?

Air itu mengalir lagi
pada detak rasa yang basah
disampah kusam

Hingga mawar malumalu
tersenyum pada buah api
yang membara

Akhirnya adaku
melengkung pada haluan sungai
yang sedang dingin dan mati



PUISI SORE

Sore itu ...mendung
menutup cakrawala hitam dan pekat
menelimuti alam angin bertiup perlahan mengiringi
butiran cristal bening yang mulai berguliran

Awan semakin hitam
suasana pun kian mencekam
cristal bening yang jatuh satu satu
kini telah menjadi hujan

Dipenghujung sore yang kelam itu
di tengah lebatnya hujan
dalam suasana yang semakin sepotong asa
telah pergi terbawa mimpi yang tak pasti.



JIWA PASRAH


Malam-malam gemintang menghias gelap
Bulan biru menyembul diantara mega putih
Meniup perlahan angin hembusan alam
Hening membelenggu dalam jutaan warna

Jatuh berlutut merenung dalam senyap
Merindu damai dalam naungan ketulusan hati
Memohon tetesan embun dari daun pagi
Menghijaukan daun jiwa yang melayu buram

Sayup-sayup ada nyanyian harap dibalik awan
Kuusapkan tanganku keleher yang merinding
Berdebar menghunjam hati yang lemah ini
Kepedihan merambat menerjang lubuk jiwa

Seorang bijaksana muncul dibawah kilatan terang
Tersungging senyuman damai dibibir pesona malam
Berkedip lembut satu titik mata bintang berkilauan
Menghentakkan jiwa yang berpasrah diam

“O… Jiwa Pasrah, dengar bisikan suara manis bidadari malam!”

“O… Jiwa pasrah, pandang kearah satu titik cahaya saja!”



SUARA DIAM

Dalam gelap ada suara diam
Merinding perlahan karena takut
Orang-orang bicara tanpa suara
Ada syair lagu tak ada melodi
Ada puisi dalam diam
Menangis tanpa suara
Merasa sakit tetap diam
Hati mengeluh
Bibir terkatup diam
Telinga mendengar diam
Mata melihat namun diam
Bisikan lembut suara diam
Dinuansa beku manusia
Menjalar bagai virus ganas



JENUH


Sejenak aku pandangi
Batas cakrawala
Sang surya pun perlahan
Tinggalkan bayangan

Ada setangkup rasa
Yang akan tertinggal
Dan mungkin terus tertinggal
Jauh disana

Seakan aku terkunci
Tanpa dapat dan sempat bertanya
Biarlah sepi mengurung diri
Dalam seribu tanya yang ada

Biarlah saja serangga malam
Menjadi temanku ..
Hari-hari tetap sama
Tanpa ada yang berubah
Membuat diriku semakin



Siapa Aku


Malam bertanya siapa aku
Aku rahasianya – yang cemas, hitam, dalam
Aku kebisuannya yang penuh pemberontakan
Telah ku selubungi hakikat diriku dengan kebisuan

Dan ku salut hatiku dalam keraguan
Lalu, penuh khidmat, tinggal aku di sini, diam
Memandang, sementara abad abad bertanya padaku,
Siapa aku

Angin bertanya siapa aku
Aku ruhnya yang heran, di ingkari zaman
Aku, seperti dia, tak pernah diam
Terus mengelana tak ada hentinya

Bila sampai kami di tikungan
Kami akan mengira itu akhir penderitaan
Tapi kiranya
Waktu bertanya siapa aku

Aku, seperti dia, ialah raksasa, yang memeluk abad abad dan
Kembali menghidupkannya
Dari pesona harapan yang menawan
Aku menciptakan masa lampau yang jauh silam dan

Kembali menguburkannya
Agar dapat ku bentuk bagiku sendiri hari kemarin yang baru
Dengan hari esoknya es yang beku

Diri bertanya siapa aku
Aku, seperti dia, dalam kebingungan, menatap bayangan kelam
Tidakapapun membuatku tenteram
Aku terus bertanya – dan jawabnya

Akan tinggal berselubung bayangan yang memperdaya
Aku akan tetap mengira jawaban itu sudah datang begitu dekat
Tetapi ketika kuraih, ia telah lumat
Hilang, musnah.


PEREMPUAN


Kilatan indah pada jembatan lewat mana sejarah
Meratap tertitah, adalah sebuah jembatan dari mana
Kemungkinan yang selama ini tak mungkin, kelak akan
Menjelma

Sebutir debu yang tersisa di sudut kegelapan malam
Tetap titah, yang dalam kebisuannya mendendam keabadian
Yang tersa-sia
Lelaki!kutitipkan perempuan- perempuanmu kepadamu !

Yang kejengkelanmu kepada mereka menyimpan mimpi mimpi
Indah musim semi harapanmu yang terlena
Yang kehancuranmu karena mereka menyembunyikan rahasia
Wahyu sejati kenabianmu tentang keabadian

Dan kecemburuanmu kepada mereka menyikap wujud
Keutuhanmu yang berdandean seribu penampilan, menjemput
Langkah langkh mu menyusuri lorong panjang ketakterhinggaan
Yang teramat sangat sepi dan melumpuhkan

Lelaki!
Perempuanlah tubuhmu yang lain, ketika kesendirianmu
Yang asing ingin di sapa
Perempuanlah butir matamu yang gelisah, ketika kakimu
Terpangku ngilu hasratkan dunia

Perempuanlah merpati kesadaranmu yang resah, ketika jiwamu
Hendak terbang dengan kepak kepak kecil mengukir ruang
Perempuan, perempuanlah samudera teduh memanggil angin,
Awan, hujan dan sungaimu untuk tak henti henti mendendangkan
Puisi kehidupan.




SUNGAI MADU


Jika ada sungai madu, aku sudah terjun menyelam seperti bebek
Jika ada sungai madu, aku sudah berenang kedasarnya sekarang
Dan tak akan pernah muncul lagi kedarat

Saat matahari hangat menyinari pintu gubuk belakangku suatu hari
Otomatis pintu kamar lubuk hatiku terbuka lebar
Mungkin saja dapat menyihir hatiku mengkristal berlian

Kuciptakan lagu recehan buat show ditengah jalan kota
Aku seniman gelandangan bukan kriminal keren
Kelasku kelas tanah, penggemarku golongan akar tanah

Besok aku pergi kerumah dermawan, antri dapat sedekah
Bergetar lututku, dipundakku ada tubuh kaku perempuan tua
Terinjak kaki-kaki frustasi mereka yang kelaparan

Jika keringat asamku mengaliri sungai takdir
Belokkan arusnya kearah istana presiden
Mungkin aromanya mampu menyentuh hati istana

Redupkan lampu kamarmu, rasakan remangnya malam
Dengar rintihan suara-sura syahdu gitar tuaku dibisikan angin
Menyelimuti tubuh-tubuh kurus kelelahan dalam pangkuan gelap

Jangan hancurkan gitar tua ini, dengarkan suara melodinya
Menggairahkan anak jalanan berdendang ria walau tanpa arahan
Tumbuk saja hatiku hingga terbebas dari keluhan luka raga merana

Jika di Jakarta ada sungai keringat orang miskin
Kawan… hanyutkan bangkaiku ini ke istana wakil rakyat
Mungkin mampu membangunkan mereka yang tertidur pulas

Ah… Jika ada sungai madu, aku akan menyelam kedasarnya



Pisau

Iris dan iris tiadak pernah puas
Tangan hampa ini mengenggam pisau
Suara irisan hidup bersahutan merintih
Dingin melolong dalam goa gelap
Frustrasi singgah dalam hidup kecemasan
Urat-urat syaraf menegang hampir putus

Pisau ini memanas mencari mangsa
Mengiris-ngiris jiwa yang sudah terpuruk
Hina dina tak ada yang peduli
Baiknya kuhapus saja setiap rasa cinta
Irislah cinta ini, pisauku!
Damaikan mata hatiku yang bolong terluka

Mulut tajam menghujat asa lemah
Adalah mulut pisau!
Mulut memohon ampunan dengan jujur
Namun ada mulut terkatup rapat tidak menjawab
Adalah mulut pisau!
Irislah mulut-mulut itu, pisauku!

Siapa yang salah ?
Pisau, mulut, atau hati?
Ujung-ujungnya watak arogan mematri
Marah mengiris-ngiris jari telunjuk
Karena telunjuk itu selalu menunjuk kasar
Menusuk perasaan, mengkoyak harga diri

puisi kritik

TOPENG NYENTRIK


Senyam-senyum, larak-lirik, manggut-manggut
Menebar pesona obral pesan unggulan
Mata menyanyu iba, bibir komat-kamit cari perhatian
Mengurut dada, meneteskan air mata prihatin
Nyatanya hanya berakting, biar disanjung orang
Topeng nyentrik!

Berjas hitam, berdasi hitam, berkacamata hitam
Keluar dari Mercedes Bens hitam, sepatu mengkilat hitam
Rambut dicat hitam, dompet tebal dalam celana hitam
Masuk hotel berbintang, duduk santai disofa hitam
Nunggu transaksi kertas hitam
Topeng nyentrik!

Ramah kesetiap orang, mulut disemprot parfum wangi
Masuk kedalam kerumunan orang
Menebar kata-kata kebenaran
Meracuni akal sehat yang memang lagi sekarat
Mendalangi gerakan anti gerakan
Topeng nyentrik!

Koruptor dan Pembalak
Pembantai dan Provokator
Penjual wanita & anak-anak
Jaksa mau disuntik uang
Berdandan elok tebal, merayu-rayu membual janji cantik
Topeng nyentrik!

Duar... duar... peluru muntah dari pistol hitam
Malah nyasar tembus salah kepala
Beralibi cari kebenaran dibalik kesalahan
Masuk jeruji besi, besok keluar lagi
Orang penting kebal hukum
Topeng nyentrik!







KETIKA SUARA BERHENTI


Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Lamunan menggapai-gapai
Terlentang dibelenggu rantai

Setiap generasi baru meronta-ronta
Namun tak mampu bereskpresi
Melompat dari jendela tanpa suara
Membuka pintu juga tanpa suara

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Bungkam terkatup kekuasaan
Pendengaran disumbat politik

Bagaimana dengan revolusi
Darah muda meluap-luap
Berkaca pada masa depan tak ingin berhenti
Tangan meraih cahaya tapi dihantam tembok

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Kita semakin lelah kebingungan
Sampai terhempas ketanah gersang

Apa yang mereka lakukan
Pada bangsa kita dan saudara kita
Ingin mendengar jawaban langsung
Semuanya bungkam tak ada suara

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Tangisan bayi tak akan terdengar lagi
Nyanyian riang anak kecil tak terdengar lagi

Kota-kota besar terhening
Desa-desa terisolasi
Derap lunglai langkah kaki tak terdengar lagi
Keluhan terjerat dalam ruang besi

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Meraung menahan luka sampai memerah
Tak ada yang peduli dan menenangkan

Wajah menua dimakan gelisah
Ingin bernyanyi bibir bergetar
Nafas kita tersenggal-senggal
Diinjak kaki-kaki perkasa

Ketika suara berhenti
Matikan lampu, nyalakan lilin
Dan tubuh dililit pagar diktaktor
Suara-suara jujur dipetikan

Apa yang mereka lakukan
Pada keadilan kita dan kedamaian kita
Pada kesejahteraan kita
Terdiam… sampai akhir…

Nenen Gunadi
Tuesday, may6,08
Edmonton, AB, Can






Hancur Dan Hancur

Presiden enggan menyapa rakyat miskin
Komunikasi hancur
Ada jaksa menerima suap
Keadilan hancur
Para pemimpin partai obral omongan
Kebenaran hancur
Perempuan pekerja pabrikan pulang malam demi hidup
Malah ditangkap dianggap pelacur
Martabat hancur
Aneh apa salah kaprah, linglung apa keblinger
Ada Pemkot yang menangkapi perempuan justru korupsi
Syariat hancur
Gedung-gedung dibakar-bakar
Kedamaian hancur
Saling mencaci-maki dan teriak-teriak ngamuk
Kehidupan sosial hancur
Seorang Ibu dan bayinya mati kelaparan
Ekonomi hancur
Biaya sekolah dari TK sampai Universitas mahal
Kecerdasan hancur
Saatnya mulai
Kritik!
Bangkit!



LUMPUR LAPINDO DAN RAKYAT


Nur bintang dimalam hari
Menembus lumpur… lumpur Lapindo
Angin malam menerpa hati
Terduduk lesu berlinang-linang
Mengeluh merasa perih mencari keadilan

Usai sudahlah harapan hidup
Ditelan lumpur… ditelan lumpur
Menggores luka, rakyat menjerit-jerit
Kembalikan rumahku!
Sejahterakan hidupku!

Merangkul kekuasaan, kekayaan, dan jabatan
Presiden dan wakilnya menjadi linglung
Anggota DPR dan MPR ikut juga linglung
Manakah uang, manakah rakyat
Siapakah rakyat, siapakah uang





KOMUNIKASI HANCUR


Halo, adakah seseorang didalam istana presiden ?
Kalau saja dapat mendengar dan melihat
Aku datang untuk melihat kekayaanmu
Bersama perasaan hatiku yang perih
Aku lapar! Aku miskin! dan tak ada yang peduli
Komunikasi hancur

Halo, adakah seseorang digedung wakil rakyat ?
Jangan hanya banyak bicara tanpa aksi yang nyata
Lihat adik kecilku kelaparan, perut kembung
Tulang terbungkus kulit kering, Tak mampu beli susu
Tak ada uang untuk beli obat, dan tak ada yang peduli
Komunikasi hancur

Bunda, ayo kita pulang saja!
Sebelum penjaga berseragam itu, menendang kita
Lelah kaki kurusku berdiri seharian didepan gedung megah ini
Percuma saja kita berteriak dan memohon-mohon
Mereka hanya mendengarkan bintang gemerlap dilangit
Kita hanya limbah-limbah yang meratap

Aku sudah tak kuat lagi kehausan dan sakit perutku
Mari aku gendong adik tercintaku!
Kita duduk dibawah pohon besar itu, aku sudah merasa lemah
Bunda, belailah kepalaku dengan cintamu dalam pangkuanmu
Kini aku damai menutup mata dalam kasihmu dan lindunganmu
Kata terakhirku “Komunikasi hancur bagi kita yang miskin”






Dompetmu Kosong

Aku heran kenapa tak seorangpun menyukaiku
Kulihat wajahku sangat tampan
Setiap hari aku berkaca, sampai kacaku berdebu
Kulihat wajahku tetap tampan

Lalu aku bertanya pada bundaku
“Bunda, kenapa tak ada yang menyukaiku?”
Bunda menjawab dengan nada datar,
“Nak, karena dompetmu kosong.”
“Bunda, kenapa tetangga kita wajahnya jelek,
tetapi gonta-ganti pasangan?”
Bunda menjawab dengan nada kesal,
“Nak, karena dia berdompet tebal, dan Bapaknya
pejabat koruptor.”
“Bunda, kenapa dia tidak ditangkap?”
Bundaku menjawab dengan gemetaran,
“Nak, karena dia anaknya dari jendralnya jendral.”

Sabtu, 03 April 2010

Sabtu, 20 Maret 2010

sejarah orang jawa di suriname

http://www.javanenvansuriname.info/Mengintip%20%20sejarah%20orang-orang%20Jawa%20di%20Suriname.pdf

potho

 
Posted by Picasa